Minggu, 30 Desember 2007

KEBIJAKAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENGEMBANGAN KOMODITI KELAPA SAWIT









1.1. Kebijakan Pembangunan Nasional
Guna menunjang kebijakan pembangunan nasional dalam pelaksanaan otonomi daerah secara efektif dan efisien diperlukan pemantapan perencanaan pembangunan daerah secara menyeluruh dan terpadu. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan yang digariskan dalam Pola Dasar Pembangunan Daerah atau Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah harus dirumuskan dengan memperhatikan kondisi, potensi, permasalahan dan kebutuhan nyata daerah serta aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang di daerah, serta kebijakan nasional baik yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional.
1.1.1. Arah dan Sasaran Pembangunan Nasional
Rencana pembangunan jangka panjang disusun untuk mencapai tujuan pembangunan sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan mengacu pada arah pembangunan sebagai berikut :
1. Pembangunan ekonomi diarahkan kepada pemantapan sistem ekonomi nasional untuk mendorong kemajuan bangsa dengan ciri-ciri sebagai berikut.
o Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan
o Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
o Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
o Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
2. Pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan memperhatikan hak warga negara serta kewajibannya untuk berperan dalam pembangunan.
3. Dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan pembangunan, pelaksanaan pemerintahan daerah didasarkan pada otonomi yang luas. Pelaksanaan otonomi di daerah diupayakan untuk mendorong peran serta masyarakat dalam pembangunan dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan.

Dalam rangka pengembangan potensi komoditi pada sektor primer, maka perlu didasarkan pada garis besar kebijakan yang berlaku secara nasional, yaitu Kebijakan Pembangunan Nasional. Arah Kebijakan Pembangunan Nasional salah satunya tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional, di mana RPJP disusun sebagai penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan nasional.

Berkaitan dengan penggalian potensi dan investasi di sektor primer, disebutkan dalam bagian Kondisi Umum RPJP 2005 – 2025 bahwa secara bertahap, struktur ekonomi berubah dari yang semula didominasi oleh pertanian tradisional ke arah kegiatan ekonomi lebih modern dengan penggerak sektor industri. Ekspor nonmigas yang menunjukkan peningkatan kemampuan untuk menghasilkan produk dan daya saing produk Indonesia terhadap produk negara lain meningkat pesat. Bahkan dalam paruh kedua 80-an, terjadi perubahan struktur ekspor dari yang semula didominasi oleh ekspor migas menjadi ekspor yang di dominasi oleh ekspor nonmigas. Oleh karenanya pengembangan potensi pada sektor primer diharapkan dapat memberikan suatu kontribusi yang signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekspor nonmigas. Sektor-sektor primer yang terkait adalah diantaranya adalah pada sektor perikanan, pertanian, peternakan, dan pertambangan.

Dalam Kondisi Umum RPJP 2005 – 2025 juga disebutkan bahwa penggunaan energi di Indonesia telah mengalami kemajuan yang cukup pesat, sehingga masalah kekurangan energi di masa yang akan datang akan diantisipasi dengan mengurangi ketergantungan energi kepada minyak dan meningkatkan kontribusi batubara dan sumber energi lainnya dalam penggunaan energi secara nasional.

Sedangkan pembangunan ekonomi dalam 20 tahun mendatang diarahkan pada pencapaian sasaran-sasaran pokok sebagai berikut.
o Terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh dimana pertanian (dalam arti luas) dan pertambangan menjadi basis aktivitas ekonomi yang menghasilkan produk-produk secara efisien dan modern, industri manufaktur yang berdaya saing global menjadi motor penggerak perekonomian, dan jasa menjadi perekat ketahanan ekonomi.
o Pendapatan perkapita pada tahun 2025 mencapai sekitar US$ 6000 dengan tingkat pemerataan yang relatif baik dan jumlah penduduk miskin tidak lebih dari 5 persen.
o Kemandirian pangan dapat dipertahankan pada tingkat aman dan dalam kualitas gizi yang memadai serta tersedianya instrumen jaminan pangan untuk tingkat rumah tangga.


Dalam kaitannya dengan pengembangan dan investasi di sektor primer maka dalam sasaran pokok disebutkan bahwa :
1. Perekonomian dikembangkan berorientasi dan berdaya saing global melalui transformasi bertahap dari perekonomian berbasis keunggulan komparatif sumberdaya alam melimpah menjadi perekonomian yang berkeunggulan kompetitif
2. Peningkatan efisiensi, modernisasi, dan nilai tambah kegiatan primer terutama sektor pertanian dalam arti luas dan pertambangan didorong agar mampu bersaing di pasar lokal dan internasional serta untuk memperkuat basis produksi secara nasional.
3. Daya-saing global perekonomian ditingkatkan dengan mengembangkan pola jaringan rumpun industri (industrial cluster) sebagai fondasinya, berdasarkan 3 (tiga) prinsip dasar:
o Pengembangan rantai nilai tambah dan inovasi yang utamanya adalah pilihan terhadap arah pola pengembangan yang ditetapkan pada suatu periode tertentu;
o Penguatan (perluasan dan pendalaman) struktur rumpun industri dengan membangun keterkaitan antarindustri dan antara industri dengan setiap aktivitas ekonomi terkait (sektor primer dan tersier, UKM maupun perusahaan penanaman modal asing);
o Pembangunan fondasi ekonomi mikro (lokal) agar terwujud lingkungan usaha yang kondusif melalui penyediaan berbagai infrastruktur peningkatan kapasitas kolektif (teknologi, mutu, peningkatan kemampuan tenaga kerja dan infrastruktur fisik) serta penguatan kelembagaan ekonomi yang dapat menjamin bahwa peningkatan interaksi, produktivitas, dan inovasi yang terjadi, melalui persaingan sehat, dapat secara nyata meningkatkan daya saing perekonomian secara berkelanjutan.
4. Dengan keunggulan komparatif sebagai negara berpenduduk besar dengan wawasan, kemampuan, dan daya kreasi yang tinggi, serta memiliki bentang alam yang luas dan kekayaan sumber daya alam, basis keunggulan kompetitif industri dalam 20 tahun mendatang dikembangkan berdasarkan 3 (tiga) prinsip utama, yaitu:
o Pengembangan industri yang mengolah sumber daya alam secara efisien dan rasional, dengan memperhatikan daya dukungnya;
o Pengembangan industri yang memperkuat kemampuan dan pembangunan jaringan interaksi, komunikasi, dan informasi baik untuk kepentingan domestik maupun dalam kaitannya dengan dinamika globalisasi; dan
o Pengembangan industri yang memperkuat integrasi dan struktur keterkaitan antar-industri ke depan.
Dengan prinsip tersebut, fokus pengembangan industri dalam 20 tahun mendatang diarahkan pada 4 (empat) pilar utama,
v Industri yang berbasis pertanian dan kelautan;
v Industri transportasi;
v Industri teknologi informasi dan peralatan telekomunikasi (telematika), dan
v Basis industri manufaktur yang potensial dan strategis untuk perkuatan daya saing industri ke depan.
5. Peningkatan efisiensi, modernisasi, dan nilai tambah sektor pertanian dalam arti luas dikelola dengan pengembangan agribisnis yang dinamis dan efisien, yang melibatkan partisipasi aktif petani dan nelayan.
6. Perdagangan dan investasi dikembangkan agar mampu mendukung perkuatan daya saing global. Sementara itu, investasi diarahkan untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi secara berkelanjutan dan berkualitas dengan peningkatan iklim investasi yang kondusif dan berdaya saing, serta selaras dengan fokus peningkatan daya saing perekonomian nasional.
7. Peranan pemerintah yang efektif dan optimal diwujudkan sebagai fasilitator, regulator, sekaligus sebagai katalisator pembangunan di berbagai tingkat guna efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, terciptanya lingkungan usaha yang kondusif dan berdaya saing, dan terjaganya keberlangsungan mekanisme pasar.
8. Pengembangan kapasitas pemerintah daerah terus ditingkatkan melalui peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah; peningkatan kapasitas keuangan pemerintah daerah termasuk upaya peningkatan kemitraan dengan masyarakat dan swasta dalam pembiayaan pembangunan daerah ditingkatkan; penguatan lembaga legislatif.
9. Pendayagunaan sumber daya alam yang terbarukan, seperti hutan, pertanian, perikanan, dan perairan dilakukan secara rasional, optimal, dan efisien, dengan mendayagunakan seluruh fungsi dan manfaat secara seimbang dan memperhatikan daya dukung dan kemampuan pulih alaminya. Pengelolaan sumber daya alam terbarukan, yang saat ini sudah berada dalam kondisi kritis, diarahkan pada upaya untuk merehabilitasi dan memulihkan daya dukungnya, dan selanjutnya diarahkan pada pemanfaatan aspek-aspek tak berwujud seperti jasa lingkungan sehingga tidak semakin merusak dan menghilangkan kemampuannya sebagai modal bagi pengelolaan pembangunan yang berkelanjutan. Hasil atau pendapatan yang berasal dari pemanfaatan sumber daya alam terbarukan diarahkan untuk diinvestasikan kembali guna menumbuhkembangkan upaya pemulihan, rehabilitasi, dan pencadangan untuk kepentingan generasi sekarang maupun generasi mendatang.
10. Efektivitas pemanfaatan sumber daya alam diarahkan pada peningkatan nilai tambah produk-produk sumber daya alam.
11. Pembangunan ekonomi diarahkan pada kegiatan yang ramah lingkungan sehingga pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan dapat dikendalikan, serta diarahkan pula pada pengembangan ekonomi yang lebih memanfaatkan jasa lingkungan. Pemulihan dan rehabilitasi kondisi lingkungan hidup diprioritaskan pada upaya untuk meningkatkan daya dukung lingkungan dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
1.1.2. Otonomi Daerah
Dalam era otonomi daerah, dengan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang telah diperbaharui dengan Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah dijelaskan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah Provinsi merupakan urusan dalam skala Provinsi yang di antaranya meliputi :
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan
b. Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang
c. Pengendalian lingkungan hidup
d. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten / kota.
Dalam pengaturan urusan pemerintahannya, Pemerintah Provinsi harus berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Keterlibatan daerah dalam menentukan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan di daerahnya yang bersinergi terhadap pembangunan nasional secara keseluruhan dicerminkan dalam Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom.
Dalam pembangunan sektor primer, Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan, diantaranya sebagai berikut:
1. Bidang Pertanian
a. Penetapan standar pelayanan minimal dalam bidang pertanian yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota.
b. Penetapan standar pembibitan/perbenihan pertanian.
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia aparat pertanian teknis fungsional, ketrampilan dan diklat kejuruan tingkat menengah.
d. Promosi ekspor komoditas pertanian unggulan daerah Provinsi.
e. Penyediaan dukungan kerja sama antar Kabupaten/Kota dalam bidang pertanian.
f. Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit menular di bidang pertanian lintas Kabupaten/Kota.
g. Pengaturan penggunaan bibit unggul pertanian.
h. Penetapan kawasan pertanian terpadu berdasarkan kesepakatan dengan Kabupaten/Kota.
i. Pelaksanaan penyidikan penyakit di bidang pertanian lintas Kabupaten/Kota;
j. Penyediaan dukungan pengendalian eradikasi organisme pengganggu tumbuhan, hama dan penyakit di bidang pertanian.
k. Pengaturan penggunaan air irigasi.
l. Pemantauan, peramalan dan pengendalian serta penanggulangan eksplosi organisme pengganggu tumbuhan dan penyakit di bidang pertanian.

2. Bidang Perkebunan
a. Pedoman penyelenggaraan inventarisasi dan pemetaan kebun.
b. Penyelenggaraan pembentukan dan perwilayahan areal perkebunan lintas Kabupaten/Kota.
c. Penyusunan perwilayahan, desain, pengendalian lahan dan industri primer bidang perkebunan lintas Kabupaten/Kota.
d. Penyusunan rencana makro perkebunan lintas Kabupaten/Kota.
e. Penyelenggaraan perizinan usaha perkebunan lintas Kabupaten/Kota
f. Pengawasan perbenihan, pupuk, pestisida, alat dan mesin di bidang perkebunan.
g. Pelaksanaan pengamatan, peramalan organisme tumbuhan pengganggu dan pengendalian hama terpadu tanaman perkebunan.
h. Penyelenggaraan dan pengawasan atas rehabilitasi, reklamasi, sistem silvikultur, budidaya, dan pengolahan.
i. Penyediaan dukungan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis, penelitian dan pengembangan terapan bidang perkebunan

3. Bidang Penanaman Modal
Melakukan kerjasama dalam bidang penanaman modal dengan Kabupaten dan Kota.

Sedangkan wewenang Pemerintah Pusat dalam pembangunan yang terkait dengan sektor primer adalah:
1. Bidang Pertanian
a. Pengaturan pemasukan atau pengeluaran benih/bibit dan penetapan pedoman untuk penentuan standar pembibitan/perbenihan pertanian.
b. Pengaturan dan pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan pemusnahan pestisida dan bahan kimia pertanian lainnya,
c. Penetapan standar pelepasan dan penarikan varietas komoditas pertanian.
d. Penetapan norma dan standar pengadaan, pengelolaan dan distribusi bahan pangan.
e. Penetapan standar dan prosedur pengujian mutu bahan pangan nabati
f. Penetapan norma dan standar teknis pemberantasan hama pertanian.

2. Bidang Perkebunan
a. Penetapan kriteria dan standar areal perkebunan
b. Penyusunan rencana makro perkebunan nasional, serta pola umum rehabilitasi lahan, konservasi lahan, konservasi tanah dan penyusunan perwilayahan, desain, pengendalian lahan, dan industri primer perkebunan
c. Penetapan kriteria dan standar produksi, pengolahan, pengendalian mutu, pemasaran dan peredaran hasil hutan dan perkebunan termasuk perbenihan, pupuk dan pestisida tanaman perkebunan
d. Penetapan kriteria dan standar perizinan usaha perkebunan
e. Penetapan kriteria dan standar pengelolaan yang meliputi rencana pengelolaan, pemanfaatan, pemeliharaan, rehabilitasi, reklamasi, pemulihan, pengawasan dan pengendalian areal perkebunan
f. Penetapan kriteria dan standar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang meliputi perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari di bidang perkebunan
g. Penetapan kriteria dan standar penyelenggaraan pengamanan dan penanggulangan bencana pada areal perkebunan
h. Pengawasan perbenihan, pupuk, pestisida, alat dan mesin di bidang perkebunan.
i. Pelaksanaan pengamatan, peramalan organisme tumbuhan pengganggu dan pengendalian hama terpadu tanaman kehutanan dan perkebunan.
j. Penyelenggaraan dan pengawasan atas rehabilitasi, reklamasi, sistem silvikultur, budidaya, dan pengolahan.

3. Bidang Penanaman Modal
Pemberian izin dan pengendalian penanaman modal untuk usaha berteknologi strategis yang mempunyai derajat kecanggihan tinggi dan beresiko tinggi dalam penerapannya, meliputi persenjataan nuklir dan rekayasa genetika.

1.2. Kebijakan Terkait dengan Penanaman Modal
1.2.1. Arah dan Sasaran Pembangunan Nasional
Secara garis besar, penanaman modal dalam rangka investasi ditinjau dari sumbernya dibagi 2 (dua), yaitu penanaman modal dengan modal berasal dari dalam negeri dan penanaman modal dengan modal dari pihak asing / luar negeri. Adapun dalam pelaksanaannya, penanaman modal baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri diatur, yaitu Undang-undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal dalam Negeri dan Undang-undang No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.

Menurut UU No. 6 tahun 1968 yang dimaksud dengan Penanaman Modal Dalam Negeri adalah penggunaan kekayaan masyarakat Indonesia termasuk hak-hak dan benda-benda baik yang dimiliki oleh Negara maupun swasta nasional atau swasta asing yang berdomisili di Indonesia yang disisihkan / disediakan guna menjalankan suatu usaha. Sedangkan yang dimaksud dengan penanaman modal asing menurut UU No.1 tahun 1967 adalah penanaman alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari devisa Indonesia atau alat-alat untuk perusahaan yang dimasukkan dari luar ke dalam negeri yang tidak dibiayai oleh devisa Indonesia.

Penanaman Modal Asing (PMA) menurut UU No. 1 tahun 1967 yang dalam pelaksanaannya diperkuat oleh Undang-undang No. 11 tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing juga memberikan batasan terhadap bidang-bidang yang tertutup bagi penanaman modal asing yaitu pada bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat orang sebagai berikut :
1. Pelabuhan-pelabuhan
2. Produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum
3. Telekomunikasi
4. Pelayaran
5. Penerbangan
6. Air minum
7. Kereta api umum
8. Pembangkitan tenaga atom
9. Massmedia
Menurut peraturan ini, penanaman modal di bidang pertanian, perikanan dan pertambangan tidak termasuk bidang yang tertutup investasi dengan Penanaman Modal Asing (PMA).

1.2.2. Prosedur Penanaman Modal
Untuk dapat menanamkan modalnya di Indonesia, baik berupa Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA), terdapat prosedur regulasi penanaman modal yang tercantum di bawah ini:
1. Investasi dalam rangka Penanaman Modal Dalam (PMDN) adalah investasi yang sesuai dengan yang dimaksudkan di dalam UU No. 6 Tahun 1968 Jo. No. 2 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
2. Penanaman Modal dalam rangka Penanaman Modal Asing adalah penanaman modal yang pelaksanaan penanaman modalnya sesuai dengan peraturan No. 1/ 1967 jo. No. 11/1970 perihal Penanaman Modal Asing.
3. Prosedur permohonan PMDN dan PMA diatur di dalam Keppres No. 117/1999 and Keputusan Menteri Negara Investasi /Ketua BKPM No. 38/1999.
4. Jenis persetujuan dan perijinan: Sesuai dengan Keppres No. 117/ 1999, wewenang untuk menerbitkan persetujuan dan perijinan investasi didelegasikan kepada Gubernur Provinsi - Provinsi di wilayah RI, dalam hal ini ditangani oleh Badan Pengembangan Ekonomi dan Koperasi (BPEK).
5. Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia didirikan dalam bentuk 100 % sahamnya dimiliki oleh pihak asing dan atau kemitraan antara pihak asing dan Indoensia (PT) dan berdomisili di Indonesia.
6. Untuk berinvestasi di Indonesia, investor harus terlebih dahulu melihat apa yang disebut denga Daftar Negative Investasi. Daftar ini memuat investasi usaha dan bidang usaha yang tertutup untuk investasi. Sektor usaha yang diatur di sisni mengacu kepada peluang yang masih terbuka untuk investor apabila telah memenuhi persayaratn yang ditetapkan, misalnya kemitraan dengan perusahaan daerah, bekerja sama dengan pengusaha kecil, lokasi-lokasi tertentu, dll. Ketentuan khusus untuk bidang usaha tertentu yang terbuka untuk penanaman modal yang harus dipahami oleh investor, baik pada saat permohonan maupun pelaksanaan kegiatan investasi di Indonesia tertuang di dalam Petunjuk teknis Pelaksanaan Penanaman Modal.
7. Daftar Negative Investasi, sebagaimana diatur di dalam Keppres No. 96/2000 yang mengatur yang tertutup untuk perusahaan asing, dan tertutup untuk semua penanaman modal termasuk PMA, (terlampir). Selain itu, di dalam Keppres No. 99/1998 juga diatur kegiatan usaha yang dicadangkan untuk usaha kecil dan kegiatan usaha yang terbuka untuk usaha menengah dan besar dengan syarat kemitraan dengan usaha kecil (terlampir).
8. Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1994 tentang Persyaratan Kepemilikan Saham untuk perusahaan PMA dan Keputusan Meneg untuk Aktifator Bantuan Investasi /Kepala BKPM No. 15/SK/1994 tentang Peraturan Pelaksanaan Kepemilikan saham bagi perusahaan - perusahaan yang dinyatakan sebagai PMA.
9. Kriteria usaha/industri kecil sesuai dengan UU No. 9 tahun1995 tentang usaha kecil adalah sebagai berikut:
o Total asset ( di luar tanah dan bangunan ) maksimal Rp. 200 Juta.
o Maksimal penjualan pertahun Rp. 1 Miliar.
o Dimiliki oleh WNI.
o Bebas.
o Berbentuk usaha perorangan.
10. Beberapa sektor usaha yang dipersiapkan untuk usaha kecil dan sektor usaha yang terbuka untuk usaha menengah atau usaha besar dengan syarat kemitraan tertuang di dalam Keppres RI No. 99 tahun 1998
11. Pelaku usaha menengah atau besar yang tertarik melakukan investasi dengan syarat kemitraan sebagaimana disebutkan dalam Keppres RI No. 99 tahun1998 harus melakukan kemitraan dengan usaha kecil dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
o Wajib melakukan kemitraan dengan berbagai bentuk kemitraan melalui saham termasuk pola, inti plasma, sub kontrak, ijin, perdagangan umum, agensi, dan lainnya dan dilaksanakan sesuai perjanjian tertulis.
o Wajib membimbing usaha kecil agar mampu mengembangkan peluang bisnisnya, dan juga kemampuan manajeman di berbagai aspek di bidang produksi dan manajemen, pemasaran, SDM, teknologi, penyediaan bahan baku, pengelolaan dan pembiayaan usaha.
o Asosiasi yang dibentuk berdasarkan perimbangan masuknya usaha kecil dilakukan paling sedikit 20 % dari saham perusahaan yang baru terbentuk yang meningkat secara bertahap.

Dalam rangka investasi di atas tanah negara dapat diberikan hak atas tanah berupa Hak Guna Bangunan (HGB), maupun Hak Guna Usaha (HGU) untuk tanah yang luas, dengan ketentuan mengenai HGB dan HGU menurut UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria sebagai berikut :
o HGB diberikan dengan jangka waktu maksimal 30 (tiga puluh) tahun, sedangkan HGU diberikan maksimal 35 (tiga puluh lima) tahun.
o Perpanjangan HGB diberikan untuk jangka waktu maksimal 20 (dua puluh) tahun, sedangkan HGU diberikan maksimal 25 (dua puluh lima) tahun.
o HGB dan HGU atas nama perusahaan bisa digunakan sebagai jaminan pinjaman / kredit.
o HGU atas tanah bisa diberikan kepada Perusahaan PMA joint venture dalam rangka PMA.

1.3. Kebijakan Sektoral Terkait dengan Pengembangan dan Pengelolaan Komoditi Kelapa Sawit
Untuk mengembangkan dan mengatur pengelolaan komoditi baik di sektor primer yang dalam kajian ini adalah di sub sektor perkebunan kelapa sawit, maka pemerintah menerapkan strategi-strategi beserta perangkat perundangannya.
1.3.1. Kebijakan Umum Terkait Sub Sektor Perkebunan
Kebijakan pada sub sektor perkebunan, yang menjadi landasan perundangannya adalah Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, yang memiliki ruang lingkup pengaturan meliputi perencanaan perkebunan, penggunaan tanah, pemberdayaan dan pengelolaan usaha, pengelolaan dan pemasaran hasil, penelitian dan pengembangan, pengembangan sumber daya manusia, pembiayaan, dan pembinaan dan pengawasan.

Perencanaan perkebunan didasarkan di antaranya pada rencana pembangunan nasional, tataruang wilayah, kesesuaian tanah dan iklim serta ketersediaan tanah untuk usaha perkebunan. Untuk pelaku usaha perkebunan, dapat diberikan hak atas tanah berupa hak milik, hak guna bangunan, dan atau hak pakai sesuai dengan peraturan perundangan. Sedangkan untuk tanah hak ulayat masyarakat hukum adat, hak penggunaannya harus dimusyawarahkan oleh masyarakat adat setempat.

Lebih lanjut, perangkat pengaturan pada sub sektor perkebunan dimuat dalam Keputusan Menteri Pertanian No. 357/Kpts/HK.350/5/2002 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Menurut Kepmen ini, jenis usaha perkebunan terdiri atas usaha budidaya perkebunan dan usaha industri perkebunan. Usaha budidaya perkebunan terdiri atas usaha budidaya tanaman skala besar yang harus diusahakan oleh perusahaan perkebunan dan usaha budidaya tanaman skala kecil yang dapat dilakukan oleh petani pekebun. Usaha budidaya perkebunan yang luas lahannya 25 ha atau lebih wajib memiliki IUP (Ijin Usaha Perkebunan). Sedangkan bila kurang dari 25 ha wajib dilakukan pendaftaran oleh pemberi izin. IUP berlaku selama perusahaan melakukan pengelolaan perkebunan secara komersil yang sesuai dengan standar teknis dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

Adapun dalam Kepmen juga diatur mengenai luas lahan usaha budidaya perkebunan untuk satu perusahaan atau grup perusahaan yang ditetapkan bahwa luas maksimum lahan usaha perkebunan adalah 20.000 ha dalam satu Provinsi atau 100.000 hektar untuk seluruh Indonesia, kecuali untuk usaha tebu di mana luas maksimum dalam satu Provinsi adalah 60.000 ha atau 150.000 ha untuk seluruh Indonesia. Luas maksimum untuk usaha perkebunan tidak berlaku bagi perusahaan perkebunan yang pemegang saham mayoritasnya Koperasi Usaha Perkebunan dan perusahaan perkebunan yang sebagian atau seluruh saham dimiliki oleh Negara baik pemerintah maupun Provinsi, kabupaten atau kota.

Untuk mengikutsertakan peran petani pekebun, di Kepmen ini juga mengatur keikutsertaan petani pekebun di mana pengembangan perkebunan dapat dilakukan dalam berbagai pola yaitu :
Ø Pola Koperasi Usaha Perkebunan, yaitu pola pengembangan yang modal usahanya 100% dimiliki oleh Koperasi Usaha Perkebunan;
Ø Pola Patungan Koperasi dengan Investor Koperasi, yaitu pola pengembangan yang sahamnya dimiliki koperasi sebesar 65 % dan sisanya dimiliki investor / perusahaan;
Ø Pola Patungan Investor Koperasi, yaitu pola pengembangan yang sahamnya 80% dimiliki investor / perusahaan dan 20% dimiliki koperasi yang ditingkatkan secara bertahap;
Ø Pola BOT (Built Operate and Transfer), yaitu pola pengembangan di mana pembangunan dan pengoperasian dilakukan oleh investor / perusahaan yang kemudian pada waktu tertentu seluruhnya dialihkan kepada koperasi;
Ø Pola BTN, yaitu pola pengembangan di mana investor / perusahaan membangun kebun dan atau pabrik pengolahan hasil perkebunan yang kemudian akan dialihkan kepada peminat / pemilik yang tergabung dalam koperasi;
Ø Pola-pola pengembangan lainnya yang saling menguntungkan, memperkuat, membutuhkan antara petani pekebun dengan perusahaan perkebunan.
Adapun dalam rangka pengembangan sistem dan usaha agribisnis perkebunan secara optimal, maka oleh pemerintah disusun langkah pemantapan melalui pendekatan Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN), di mana Pedoman Kriteria dan Standar Klasifikasi KIMBUN dituangkan dalam Keputusan Menteri Pertanian No. 633/Kpts/OT.140/10/2004. Adapun bagan dari strategi pengembangan perkebunan oleh Pemerintah saat ini dapat dilihat pada Gambar 2.1. di bawah ini.
STRATEGI PEMBANGUNAN PERKEBUNAN
· UUD 45
· UU 12/1992
· UU 9/1995
· UU 25/1992
· TAP XVI/MPR/1998
· INPRES 18/1998
PERANAN
· Pembentukan PDB
· Perkembangan Produksi & Luas Areal
· Penyerapan Tenaga Kerja
· Sektor Perdagangan
· Pembangunan Ekonomi Daerah
· Ketahanan Pangan
· Pelestarian Lingkungan Hidup
KEBIJAKAN
· Pengembangan Komoditas
· Peningatan Kemampuan SDM & IPTEK
· Penumbuhan Kemitraan Usaha
· Pengembangan Kelembagaan
· Investasi Usaha Perkebunan
· Peningkatan Dukungan Pembangunan Ketahanan Pangan
· Pengelolaan SDA & Lingkungan Hidup
· Pengembangan Sistem Informasi Perkebunan


KIMBUN
Terwujudnya Sistem AGRIBISBUN yang Utuh, Berdaya Saing Tinggi, berkeadilan, berkelanjutan, untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat
PR
PB
Gambar 1.1. Bagan Strategi Pembangunan Perkebunan
1.3.2. Peraturan Terkait Komoditi Kelapa Sawit
Berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 376 / Kpts-II/1998 tentang Kriteria Penyediaan Areal Hutan untuk Perkebunan Budidaya Kelapa Sawit disebutkan bahwa lahan yang cocok untuk perkebunan budidaya kelapa sawit adalah berdasar kriteria-kriteria sebagai berikut :
a. Kelerengan maksimal 25 %.
b. Ketinggian 0 – 300 m dpl.
c. Curah hujan 1750 – 4000 mm/tahun dengan rata-rata bulan kering per tahun 0 – 3 bulan.
d. Kedalaman efektif tanah untuk tanah mineral > 100 cm, untuk ketebalan tanah gambut < 200 cm.
e. Temperatur rata-rata per tahun 24° – 29° C.
Sedangkan untuk industri pengolahan kelapa sawit sendiri, menurut Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 107 Kep/Kpts/1999, pemberian ijin pendirian pabrik kelapa sawit harus ada jaminan adanya pasokan dari kebun sendiri. Pabrik kelapa sawit standar dengan kapasitas 30 ton Tandan Buah Segar (TBS)/jam, memerlukan dukungan kebun sawit seluas minimal 6000 ha. Pabrik pengolahan mini dengan kapasitasi 10 ton TBS/jam, memerlukan dukungan kebun sawit seluas 2000 ha.
1.3.3. Strategi dan Program Pemerintah untuk Pengembangan Komoditi Kelapa Sawit
Peluang untuk pengembangan agribinis kelapa sawit masih cukup terbuka bagi Indonesia, terutama karena ketersediaan sumberdaya alam/lahan, tenaga kerja, teknologi maupun tenaga ahli. Dengan posisi sebagai produsen terbesar kedua saat ini dan menuju produsen utama di dunia pada masa depan, Indonesia perlu memanfaatkan peluang ini dengan lebih baik, mulai dari perencanaan sampai dengan upaya menjaga agar tetap bertahan pada posisi sebagai lead country. Disamping itu, tuntutan akan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan perlu juga menjadi pertimbangan. Tugas ini tentu sangat berat, dan untuk itu perlu dilakukan upaya yang tepat untuk pengembangan agribinis kelapa sawit Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, maka visi yang dikembangkan oleh Direktorat Pengembangan Perkebunan Departemen Pertanian dalam pembangunan kelapa sawit adalah “Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Kelapa Sawit yang Berdaya Saing, Berkerakyatan, Berkelanjutan dan Terdesentralisasi.”

Strategi Memberdayakan di Hulu dan Memperkuat di Hilir sebagai pilihan strategi dalam penanganan agribisnis kelapa sawit Indonesia dirasa cukup tepat, namun masalahnya adalah bagaimana strategi tersebut dapat di implementasikan dengan efektif. Oleh karena itu, strategi tersebut perlu didukung oleh organisasi yang lebih sesuai semacam sawit board.

Pendekatan pengembangan kelapa sawit yang ditempuh adalah mekanisme pasar, dimana alokasi sumber daya diarahkan oleh mekanisme insentif/disinsentif. Pendekatan ini perlu dilakukan mengingat komoditas kelapa sawit merupakan komoditas perdagangan dunia, dimana keberhasilan untuk menembus pasarsangat tergantung dari daya saing terhadap komoditas sejenis yang dihasilkan oleh negara lain. Peran pemerintah dalam kaitan ini lebih bersifat sebagai pendorong terjadinya integrasi kegiatan on-farm dan off farm serta mengembangkan sistem dan mekanisme untuk mengatasi resiko dan ketidak pastian. Melalui integrasi ini diharapkan nilai tambah dari komoditas dapat lebih banyak memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat. Hal ini juga mempertimbangkan bahwa harga produk primer selama 30 tahun terakhir cenderung mengalami penurunan, sedangkan produk-produk hilir cenderung mengalami peningkatan Upaya integrasi ini mengandung arti pula akan mengurangi resiko ketidak-pastian dari usaha tani yang dikembangkan oleh petani.

Ke depan pengembangan agribisnis kelapa sawit akan lebih diarahkan ke Kawasan Timur Indonesia, khususnya di pulau Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya dan wilayah lain yang secara potensi memungkinkan untuk dikembangkan. Dari berbagai kajian teoritis dan empiris, pengembangan agribisnis kelapa sawit lebih efektif bila menggunakan pendekatan Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan dengan melibatkan petani pekebun rakyat dalam wadah koperasi/badan usaha yang secara bersama-sama dengan perusahaan mitra mengembangkan kebun dan pabrik pengolahan kelapa sawit untuk memberikan manfaat dan keuntungan bersama. Berdasarkan pertimbangan tersebut, strategi pengembangan agribisnis kelapa sawit yang perlu ditempuh adalah sebagai berikut:

A. Peningkatan Produktivitas dan Mutu Hasil Kelapa Sawit
Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tanaman serta mutu hasil kelapa sawit secara bertahap, baik yang dihasilkan oleh petani pekebun maupun perkebunan besar. Penerapan kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu kelapa sawit ditempuh antara lain melalui:
a. Mendorong pengembangan industri benih yang berbasis teknologi dan pasar dengan peran serta swasta dan masyarakat.
b. Pengembangan teknologi benih yang disesuaikan dengan kondisi wilayah, budidaya dan sosial ekonomi masyarakat serta keamanan lingkungan di wilayah pengembangan perkebunan kelapa sawit.
c. Perlindungan plasma nutfakh kelapa sawit.
d. Peremajaan tanaman kelapa sawit secara bertahap yang didukung dengan perencanaan yang komprehensif.
e. Pengembangan kemitraan kelapa sawit antara masyarakat dengan investor.
f. Mengupayakan dukungan sarana-prasarana pendukung untuk pengembangan kelapa sawit, antara lain permodalan, jalan/jembatan, tanki timbun dan pelabuhan yang memadai bekerjasama dengan pihak-pihak terkait.
g. Peningkatan kemampuan SDM perkebunan melalui berbagai kegiatan pendidikan, pelatihan serta pendampingan.
h. Revisi SNI dan olein.
i. Mendorong peningkatan mutu produksi antara lain melalui panen tepat waktu, pengolahan TBS yang lebih efisien dan perbaikan jaringan transportasi TBS.

B. Pengembangan Industri Hilir dan Peningkatan Nilai Tambah Kelapa Sawit
Kebijakan ini dimaksudkan agar ekspor kelapa sawit Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (CPO), tapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dinikmati di dalam negeri. Penerapan kebijakan pengembangan industri hilir ini ditempuh antara lain melalui:
a. Fasilitasi pendirian PKS terpadu dengan refinery skala 5 – 10 ton TBS/jam dan pendirian pabrik MGS (Minyak Goreng Sawit) skala kecil di lokasi penghasil CPO yang belum ada pabrik MGS.
b. Pengembangan industri hilir kelapa sawit di sentra-sentra produksi.
c. Peningkatan kerjasama dibidang promosi, penelitian dan pengembangan serta pengembangan SDM dengan negara penghasil CPO.
d. Fasilitasi pengembangan bio-diesel.
e. Pengembangan market riset dan market intelejen untuk memperkuat daya saing.

C. Dukungan Penyediaan Pembiayaan
Kebijakan ini dimaksudkan untuk tersedianya berbagai kemungkinan sumber pembiayaan yang sesuai untuk pengembangan kelapa sawit, baik yang berasal dari lembaga perbankan maupun non bank (antara lain memanfaatkan penyertaan dana masyarakat melalui Kontrak Investasi Kolektif, Resi Gudang dan lain-lain).

Dengan upaya-upaya tersebut diharapkan agribisnis kelapa sawit yang efisien, produktif dan berdaya saing tinggi untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat secara berkelanjutan akan dapat diwujudkan.
1.3.4. Kebijakan Sektoral Lain Terkait Komoditi Kelapa Sawit
1.3.4.1. Peraturan Terkait dengan Otoda dan Lingkungan Hidup
Kelapa sawit hasil perkebunan yang kemudian diolah menjadi berbagai macam komoditi terutama mintak kelapa sawit, dalam pengolahannya harus memperhatikan faktor limbah yang dapat mencemari lingkungan. Air buangan industri minyak kelapa sawit yang diolah secara anaerob masih memiliki kandungan senyawa organik COD yang belum memenuhi standart kualitas air buangan, sehingga dibutuhkan pengolahan lebih lanjut untuk menurunkan kandungan senyawa organik tersebut. Berdasarkan surat keputusan Menteri Negara Kependudukan dan lingkungan hidup No Kep - 51/MENLH/10 1995, besarnya baku mutu limbah cair untuk industri minyak kelapa sawit adalah 250 mg/l BOD5 atau 500 mg/l COD, dengan debit limbah maksimum 6 m3 /ton produk. Dan untuk melakukan pengawasan terhadap mutu limbah ini, maka pemerintah daerah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan prosedur-prosedur pengawasan limbah serta prosedur pencegahan pencemaran oleh limbah.
1.3.4.2. Peraturan Terkait dengan Penggunaan Lahan dan Pertanahan
Berkaitan dengan penggunaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, maka dalam Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 376/Kpts-II/1998 tentang Kriteria Penyediaan Areal Hutan untuk Perkebunan Budidaya Kelapa Sawit disebutkan bahwa kawasan hutan yang dapat dilepaskan menjadi perkebunan budidaya kelapa sawit adalah bila memenuhi kriteria berikut :
a. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Provinsi berada pada kawasan budidaya non kehutanan.
b. Tidak dibebani hak.
c. Pulau kecil yang luasnya kurang dari 10 km2 tidak termasuk yang dapat dilepaskan.
d. Diprioritaskan pada lahan kosong atau terbuka berdasarkan citra landsat yang terbaru.
e. Minimal luas areal 10.000 hektar.

Untuk penggunaan lahan baik untuk perkebunan kelapa sawit maupun industri pengolahannya, maka berdasar UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria perlu diurus Hak Guna Usaha lahan, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh Negara guna perusahaan pertanian/perkebunan, perikanan atau peternakan. Hak guna usaha ini diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan jaman. Hak guna usaha ini hanya dapat diberikan kepada warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
1.3.4.3. Peraturan Terkait dengan Perdagangan dan Penanaman Modal Komoditi
Untuk meningkatkan perdagangan komoditi kelapa sawit, maka diperlukan suatu usaha menarik investasi. Salah satunya adalah dengan cara penanaman modal asing. Untuk berinvestasi di Indonesia, investor harus terlebih dahulu melihat apa yang disebut dengan Daftar Negative Investasi. Daftar ini diatur oleh Keputusan Presiden No. 96 tahun 2000 junto No. 118 tahun 2000 yang memuat investasi usaha dan bidang usaha yang tertutup untuk investasi. Sektor usaha yang diatur di sini mengacu kepada peluang yang masih terbuka untuk investor apabila telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan, misalnya kemitraan dengan perusahaan daerah, bekerja sama dengan pengusaha kecil, lokasi-lokasi tertentu, dll. Ketentuan khusus untuk bidang usaha tertentu yang terbuka untuk penanaman modal yang harus dipahami oleh investor, baik pada saat permohonan maupun pelaksanaan kegiatan investasi di Indonesia tertuang di dalam Petunjuk teknis Pelaksanaan Penanaman Modal

Di samping itu Pemerintah juga mengadakan perjanjian-perjanjian dengan berbagai negara untuk meminimalisir penyelundupan kelapa sawit yang saat ini sering terjadi, yaitu dengan jalan memperketat pengawasan di bea cukai dan patroli di jalur-jalur perdagangan baik darat, laut, maupun udara. Dan lebih lanjut lagi, Pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 07/M-DAG/PER/4/2005 tanggal 19 April 2005 menyatakan bahwa inti kelapa sawit (Palm Kernel) merupakan barang yang diawasi ekspornya.
1.3.4.4. Peraturan Terkait dengan Pajak dan Retribusi Komoditi
Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekspor dan meningkatkan penerimaan devisa serta menciptakan efisiensi perekonomian nasional, dipandang perlu meninjau kembali dan menetapkan besarnya tarip Pajak Ekspor kelapa sawit, minyak kelapa sawit dan produk turunannya. Hal ini dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan RI No. 360/KMK.0171999 tentang Penetapan Besarnya Tarif Pajak Ekspor Kelapa Sawit, Minyak Kelapa Sawit dan Produk Turunannya di mana berlaku :

PE = TPE x HPE x n x K

Dengan :
PE = Pajak Ekspor
TPE = Tarif Pajak Ekspor
HPE = Harga Pajak Ekspor
n = Jumlah Satuan
K = Nilai Tukar Rupiah terhadap Mata Uang Asing






Harga Patokan Ekspor secara berkala ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Bila Harga Patokan Ekspor ini tidak ada, maka pajak ekspor dihitung berdasar harga FOB yang tercantum dalam Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB). Sedangkan nilai tukar mata uang ditentukan oleh Menteri Keuangan secara berkala.

1 komentar:

JohnTanjung_86 mengatakan...

belum jelas sistem plasma dari pemerintah yang menbuat bingung masyarakat.